Biografi dan Peran Muhammad Abduh Dalam Pembaharuan Dunia Islam - Tech Terpadu
News Update
Loading...

Monday, August 6, 2018

Biografi dan Peran Muhammad Abduh Dalam Pembaharuan Dunia Islam

Biografi Muhammad Abduh dalam pembaharuan dunia islam

Muhammad Abduh
(Tokoh Pembaharuan Dunia Islam)
1 2 3
🔹 Nasab

Muhammad Abduh (bahasa Arab: محمد عبده;). Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah, mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam, Umar bin Khattab.

🔹 Latar Belakang Pendidikan

Pendidikan pertama yang ditekuni Muhammmad Abduh adalah belajar Al Qur'an, dan berkat otaknya yang cemerlang maka dalam waktu dua tahun, ia telah hafal kitab suci dalam usia 12 tahun. Pendidikan formalnya dimulai ketika ia dikirim oleh ayahnya ke perguruan agama di masjid Ahmadi yang terletak di desa Thantha. Namun karena sistem pembelajarannya yang dirasa sangat membosankan, akhirnya ia memilih untuk menimba ilmu dari pamannya, Syekh Darwisy Khidr di desa Syibral Khit yang merupakan seseorang yang berpengetahuan luas dan penganut paham tasawuf. Selanjutnya, Muhammad Abduh melanjutkan studinya ke Universitas Al Azhar, di Kairo dan berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1877.

Ketika menjadi mahasiswa di Al Azhar, pada tahun 1869 Abduh bertemu dengan seorang ulama' besar sekaligus pembaharu dalam dunia Islam, Said Jamaluddin Al Afghany, dalam sebuah diskusi. Sejak saat itulah Abduh tertarik kepada Jamaluddin Al Afghany dan banyak belajar darinya. Al Afghany adalah seorang pemikir modern yang memiliki semangat tinggi untuk memutus rantai-rantai kekolotan dan cara-cara berfikir yang fanatik. Udara baru yang ditiupkan oleh Al Afghany, berkembang pesat di Mesir terutama di kalangan mahasiswa Al Azhar yang dipelopori oleh Muhammad Abduh. Karena cara berpikir Abduh yang lebih maju dan sering bersentuhan dengan jalan pikiran kaum rasionalis Islam (Mu'tazilah), maka banyak yang menuduh dirinya telah meninggalkan madzhab Asy'ariyah. Terhadap tuduhan itu ia menjawab: "Jika saya dengan jelas meninggalkan taklid kepada Asy'ary, maka mengapa saya harus bertaklid kepada Mu'tazilah? Saya akan meninggalkan taklid kepada siapapun dan hanya berpegang kepada dalil yang ada".

🔹 Latar Belakang Pemikiran Muhammad Abduh

Muhammad  Abduh dilahirkan dan dibesarkan dan hidup dalam masyarakat yang sedang disentuh oleh perkembangan-perkembangan dasar di Eropa. Sayyid Quthub sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, dalam bukunya yang berjudul Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha,  memberikan gambaran singkat mengenai masyarakat tersebut yakni ”suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami sari’at Allah atau mengistinbatkan hukum-hukum karena mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berlandaskan “khurofat”. Sementara itu di Eropa hidup suatu masyarakat yang mendewakan akal, khususnya setelah penemuan-penemuan ilmiah yang sangat mengagumkan ketika itu.

Keadaan masyarakat Eropa tersebut sesungguhnya telah menanamkan benih pengaruhnya sejak kedatangan ekspedisi prancis (Napoleon) ke Mesir pada tahu 1798. Namun secara jelas tumbuhnya benih-benih tersebut mulai dirasakan Muhammad Abduh pada saat ia memasuki pintu gerbang Al-Azhar. Waktu itu, lembaga pendidikan tersebut para pembina dan ulamanya telah terbagi kedalam dua kelompok., mayoritas dan minoritas. Kelompok pertama menganut pola taqlid, yakni mengajarkan kepada siswa bahwa pendapat-pendapat ulama terdahulu hanya sekedar dihapal, tanpa mengantarkan pada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan. Sedangkan kelompok kedua menganut pola tajdid (pembaharu) yang menitik beratkan uraian-uraian mereka ke arah penalaran dan pengembangan rasa.

Berkat pengetahuan Abduh tentang ilmu tasawuf serta dorongan Syekh Darwisy agar ia selalu mempelajari berbagai bidang ilmu, yang diterimanya ketika usia muda dulu, maka tidak mengherankan jika naluri Abduh yang didukung Syaikh tersebut membuat Abduh lebih condong untuk berpihak kepada kelompok minoritas yang ketika itu dipelopori oleh  Syekh Hasan Al -Thawil yang telah mengajarkan filsafat dan logika jauh sebelum Al-Azhar mengenalnya. Pada sisi lain pertemuan Abduh dengan Al-Afgani menjadikan Abduh aktif dalam berbagai bidang sosial dan politik, dan kemudian mengantarkannya untuk bertempat tinggal di Paris, menguasai bahasa Prancis, menghayati kehidupan masyarakatnya, serta berkomonikasi dengan pemikir-pemikir Eropa ketika itu.

🔹 Corak Pemikiran Muhammad Abduh

 1. Moderenisasi

Sebagaimana yang telah disinggung pada latar belakang pemikiran Muhammad Abduh, bahwa semenjak perjumpaannya dengan Al- Afgani, Abduh berusaha mengadakan penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan zaman, seperti penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Gagasan penyesuaian inilah kemudian disebut dengan moderniasasi. Sumber dari gagasan moderenisasi Abduh tersebut bersumber dari penentangannya terhadap taqlid. Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur’an  memerintahkan kepada ummatnya untuk menggunakan akal sehat mereka, serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu tanpa mengikuti secara pasti hujah-hujah yang menguatkan pendapat tersebut, walaupun pendapat itu dikemukakan oleh orang yang seyogyanya paling dihormati dan dipercaya.

Muhammad Abduh menetapkan tiga hal yang menjadi kriteria perbuatan taqlid ini, ketiga kriteria tersebut adalah:
  • Sangat mengagung-agungkan para leluhur dan para guru mereka secara berlebihan.
  • Mengiktikadkan agungnya pemuka-pemuka agama yang silam, seolah-olah telah mencapai kesempurnaan.
  • Takut dibenci orang dan dikritik bila ia melepaskan fikirannya serta melatih dirinya untuk berpegang kepada apa yang dianggap benar secara mutlak.

Berdasarkan pada pandangan tersebut, Abduh memahami Alqur’an, terutama yang berkaitan denga kecaman terhadap sikap dan perbuatan taqlid tersebut, walaupun menyangkut sikap kaum musrikin. Selanjutnya ia mengecam kaum muslimin, khususnya yang berpengetahuan yang mengikuti pendapat ulama-ulama terdahulu tanpa memperhatikan hujahnya.

Berkaitan dengan modernisasi ini, Abduh memberikan pernyataan bahwa seorang modernis biasanya memiliki beberapa ciri, diantaranya selalu berusaha menghadapi segala situasi dengan penuh keyakinan serta keberanian, dan gerakannya bersifat kerakyatan, serta senantiasa melibatkan pemikiran pribadi. Kemudian kaum modernis yang telah menjadikan reformasi sebagai tolak ukurnya adalah mereka yang berusaha menciptakan ikatan-ikatan positif antara pemikiran Qur’ani dengan pemikiran modern.

Perpaduan antara kedua pemikiran ini telah melahirkan beberapa lembaga sosial dan moral modern dengan berorientasi pada Alqur’an.

Muhammad Abduh menyikapi peradaban Barat modern dengan selektif dan kritis. Dia senantiasa menggunakan prinsip ijtihad sebagai metode utama untuk meretas kebekuan pemikiran kaum muslimin. Abduh tidak pernah berfikir, apalagi berusaha untuk mengambil alih secara utuh segala yang datang dari dunia Barat. Karena ia beranggapan apa bila itu dilakukan berarti mengubah taqlid yang lama dengan taqlid yang baru, juga karena hal tersebut tidak akan berguna, disebabkan adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing daerah. Islam menurut Abduh “harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan perbedaan barat serta membersihkan dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan demikian, perbedaan tersebut pada akhirnya, akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam, sesaat setelah ia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.
2. Reformis

Muhammad Abduh Adalah seorang pembaharu yang corak pembaharuannya bersifat reformistik-rekonsturktif. Ini dikarenakan Muhammad Abduh senantiasa melihat tradisi dengan perpektif membangun kembali. Agar tradisi suatu masyarakat dapat survive dan terus diterima, ia harus dibangun kembali. Pembangunan kembali ini tentunya dengan kerangka modern dan prasyarat rasional. Pemikiran pembaharuan yang bercorak reformistik dalam bentuknya yang pertama secara filosofis.

3. Konservatif

Gerakan pembaharuan yang diinagurasikan Muhammad Abduh bersifat konservatif, hal ini terlihat dari sikap Muhammad Abduh yang tidak bermaksud mengubah potret diri Islam. Risalah Tauhid merupakan bukti dari pemikiran ini. Muhammad Abduh dalam karya ini berupaya menegaskan kembali potret diri Islam yang telah mencapai finalitas dan keunggulan.

Demikianlah muncul ke permukaan ketiga tipologi pemikiran, yaitu modernis, reformis, konservatif, yang dilontarkan berkaitan dengan pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh. Ketiganya merupakan refleksi dalam membaca segala pemikiran Muhammad Abduh. Dalam pembacaan itu corak pertama lebih menekankan pada aspek slektifitas dan sikap kritis Muhammad Abduh dalam menyikapi dan memandang peradaban barat. Corak kedua lebih menekankan kepada upaya Muhammad Abduh dalam membangun kembali tradisi Islam secara rekonstruktif. Sedangkan corak yang ketiga memfokuskan bacaannya kepada upaya Muhammad Abduh dalam membela Islam melalui finalitas dan keunggulan Islam.

Share with your friends

Add your opinion
Disqus comments
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done